Kamis, 05 Agustus 2010

Nilai Kebersamaan

Seorang pria pulang kantor terlambat, dalam keadaan lelah dan penat, saat menemukan anak lelakinya yang berumur 5 tahun menyambutnya di depan pintu.

“Ayah, boleh aku tanyakan satu hal?”
“Tentu, ada apa?”
“Ayah, berapa rupiah ayah peroleh tiap jamnya?”
“Itu bukan urusanmu. Mengapa kau tanyakan soal itu?” kata si lelaki dengan marah.
“Saya cuma mau tahu. Tolong beritahu saya, berapa rupiah ayah peroleh dalam satu jam?” si kecil memohon.
“Baiklah, kalau kau tetap ingin mengetahuinya. Ayah mendapatkan Rp 20 ribu tiap jamnya.”
“Oh,” sahut si kecil, dengan kepala menunduk. Tak lama kemudian ia mendongakkan kepala, dan berkata pada ayahnya, “Yah, boleh aku pinjam uang Rp 10 ribu?”

Si ayah tambah marah, “Kalau kamu tanya-tanya soal itu hanya supaya dapat meminjam uang dari ayah agar dapat jajan sembarangan atau membeli mainan, pergi sana ke kamarmu, dan tidur. Sungguh keterlaluan. Ayah bekerja begitu keras berjam-jam setiap hari, ayah tak punya waktu untuk perengek begitu.”

Si kecil pergi ke kamarnya dengan sedih dan menutup pintu. Si ayah duduk dan merasa makin jengkel pada pertanyaan anak lelakinya.

Betapa kurang ajarnya ia menanyakan hal itu hanya untuk mendapatkan uang? Sekitar sejam kemudian, ketika lelaki itu mulai tenang, ia berpikir barangkali ia terlalu keras pada si anak. Barangkali ada keperluan yang penting hingga anaknya memerlukan uang Rp 10 ribu darinya, toh ia tak sering-sering meminta uang. Lelaki itu pun beranjak ke pintu kamar si kecil dan membukanya.

“Kau tertidur, Nak?” ia bertanya.
“Tidak, Yah, aku terjaga,” jawab si anak.
“Setelah ayah pikir-pikir, barangkali tadi ayah terlalu keras padamu,” kata si ayah. “Hari ini ayah begitu repot dan sibuk, dan ayah melampiaskannya padamu. Ini uang Rp 10 ribu yang kau perlukan.”

Si bocah laki-laki itu duduk dengan sumringah, tersenyum, dan berseru, “Oh, ayah, terima kasih.”

Lalu, sambil menguak bantal tempatnya biasa tidur, si kecil mengambil beberapa lembar uang yang tampak kumal dan lecek.

Melihat anaknya ternyata telah memiliki uang, si ayah kembali naik pitam. Si kecil tampak menghitung-hitung uangnya.

“Kalau kamu sudah punya uang sendiri, kenapa minta lagi?” gerutu ayahnya.
“Karena uangku belum cukup, tapi sekarang sudah.” jawab si kecil.
“Ayah, sekarang aku punya Rp 20 ribu. Boleh aku membeli waktu ayah barang satu jam? Pulanglah satu jam lebih awal besok, aku ingin makan malam bersamamu.”

Rabu, 04 Agustus 2010

Laki-laki sejati

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di
luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu.
Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru
kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga
kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah
menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu,
sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap.
Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut
memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan
hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih
berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak
hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang
lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia
pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama
kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan
tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut
cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering
menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan
rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya
belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah
berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus
mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu
tabu. Mereka senang pada bahaya.

Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala
putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan
menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran
untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa
ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya
karena kamu tidak pernah mengalami sendiri,
pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu
baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya,
karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat
hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok
sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi
ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan
kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya
yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita.
Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu
tidak menyenangkan?

Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu
bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh
bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai
kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi
harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan
keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu
hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan
pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang
kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan
dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan
menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu
aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya
bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita
tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat
kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita
terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.

Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar.
Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan
seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk
membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian,
adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.

Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak
sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar
mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi
perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong,
karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya
dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut
ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat
laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara
menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.

Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela!
Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena
dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan
laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh
peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh
garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa.
Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki
menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki
sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena
bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang
laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki
sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi
pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki
belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia
kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman,
menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak
suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian,
berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh
dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya
kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta
banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat,
jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki
meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis,
pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang
arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi
laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat
yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar,
merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang
pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas
dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup
yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.

Hanya itu?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang
satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!

Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan?
Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu
memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan
seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia
dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya
sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari
mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan
rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan
nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran
yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki
seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai
laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya
seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah
penasaran.

Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku
mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk
menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku,
menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar
dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau
nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit
kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan
hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku
pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak.
Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak
akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu,
penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.

Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk
jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan
hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu
berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai
laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak
mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada
lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas,
sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik
karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa
lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual.
Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan
bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa
dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku.
Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul
jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana
dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat
apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak
rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa
menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya.
Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi
kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu
akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi
yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.

Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara
tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu
aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada
laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu,
lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan
duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan
berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu.
Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan
daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar
beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti
yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak
sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam
perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah
mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di
sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!

Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka.
Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala
sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka,
berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat
lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan
orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki
sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi
keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku,
membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R
& B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal
dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari
tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya
menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit.
Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan
muda itu tetap kosong.

Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang
laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil
yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga
tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana
tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan
tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang
laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu
dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau
memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut
ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang
terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu
dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya.
Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah
segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat
membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara
yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena
seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana
pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap
perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa
pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya
bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan
dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki
yang sejati! ***